Kisah Ja'far bin Abi
Thalib, Pria yang Mirip Nabi Muhammad SAW
Ja’far
Bin Abi Thalib merupakan satu diantara lima sahabat Nabi SAW yang memiliki
kemiripan dengan Rasulullah SAW. Namun diantara kelimanya Ja’far tercatat
paling mirip dengan Rasulullah SAW. Hingga diriwayatkan, jika dilihat dari
belakang, sulit membedakan antara Ja’far dan Nabi Muhammad SAW. Tidak hanya
tampilan fisik, karakter Ja’far juga mirip dengan Rasulullah SAW.
Di riwayatkan dari Muhammad bin Usamah bin Zaib bahwa Rasulullah SAW pernah berkata kepada Ja’far “Bentuk wajahmu serupa dengan wajahku, dan akhlakmu serupa dengan akhlak ku karena kamu berasal dari ku dan merupakan keturunanku.”
Karena kemiripan akhlak dan karakternya inilah Ja’far bin Abi thalib mudah menerima Islam saat diterangkan dengan sahabat yakni Abu Bakar Ash Shiddiq. Ia tercatat menjadi orang ke-31 yang memeluk Islam. Bagaimanakah perjalanan seorang Ja'far bin Abi Thalib dan apa sajakah pengaruh beliau dalam agama Islam?
Ja’far yang merupakann sepupu Nabi Muhammad SAW ini langsung menyatakan Keislamannya begitu mengetahui bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah SWT. Putra Abu Thalib ini kemudian menyampaikan keislamannya kepada sang Istri, istrinya Asma bin Umais.Ja’far pun lalu mengajak istrinya untuk kemudian masuk Islam. Ia begitu yakin bahwa mengikuti ajaran Islam akan membawanya pada kebaikan dunia dan akhirat.
Kelembutan serta kecerdasan seorang Ja'far bin Abi Thalib berhasil mengantarkan istrinya Asma bin Umais ke jalan yang hidayah, hingga nanti disepanjang jalan hidupnya, keduanya bersama-sama mengarungi pahit manis sebagai seorang muslim yang bertakwa.
Meski kebahagiaan Islam telah menyelimti hatinya, namun kebahagian kakak Ali Bin Abi Thalib ini belum utuh. Sebab sang ayah yang sangat dicintainya, Abu Thalib enggan mengikuti kebenaran yang dibawa keponakannya, Nabi Muhammad SAW. Padahal Ia selalu dibarisan terdepan membela Rasulullah SAW dari kedengkian kaum Quraisy. Hanya doalah yang bisa dipanjatkan Ja’far bin Abi Thalib agar sang ayah mau membuka hatinya menerima hidayah Islam.
Maka ketika Islam semakin menyebar di Kota Mekah kaum Quraisy semakin berang dan tidak terima. Mereka membuat banyak gangguan untuk menjatuhkan Islam serta melemahkan iman kaum Muslimin. Maka ketika Quraisy tidak bisa menghalangi dakwah Rasulullah SAW lantaran sang Nabi mendapatkan pembelaan dari keluarga besarnya, mereka pun mulai melampiaskan amarah dengan menyiksa kaum miskin dan lemah.
Tapi siksaan demi siksaan yang diterima kaum muslimin justru membuat iman mereka semakin kokoh dan kebal. Demikia kejam siksaan kaum Quraisy terhadap kaum Muslimin, hingga keinginan melawan semakin besar, termasuk Ja’far Bin Abi Thalib. Ia begitu kesal dengan perlakuan kaumnya tapi Ia begitu tidak bisa berbuat apa-apa, sebab Rasulullah SAW melarang kaum Muslimin untuk melawan dan hanya meminta agar bersabar.
Disaat kekejaman kaum Quraisy memuncak Rasulullah SAW meminta agar kaum muslimin hijrah ke negeri Habasyah, negeri yang dipimpin Raja Najashi, seorang Raja Nasrani yang adil dan tidak pernah berbuat dzalim.
Rasulullah SAW memilih Ja’far Bin Abi Thalib memimpin kaum muslimin hijrah menyelamatkan akidahnya ke negeri Habasyah. Rasulullah SAW begitu mengenal Ja’far sepertit mengenal dirinya sendiri. Ja’far diplih karena memiliki kecerdasan, keberanian sekaligus ketenangan semuanya itu semakin didukung karena Ia memiliki kemiripan dengan Rasulullah SAW. Sehingga menjadi pelipur lara bagi kaum muslimin bila jauh dari Nabi mereka.
Benar saja, di negeri Habasyah muslimin bisa hidup nyaman tanpa harus terganggu saat beribadah. Namun kabar hijrahnya 100 kaum muslimin ke negeri Habasyah membuat berang kaum musrik Quraisy. Mereka tidak tenang pengikut Nabi Muhammad SAW beribadah dengan nyaman. Mereka kemudian berencana untuk memulangkan kaum muslimin ke Mekah. Mereka mengutus Amar Bin Ash, pemuda Quraisy yang dikenal paling jago berdiplomasi dan dekat dengan Raja Najashi
Sambil membawa hadiah dari kaum Quraisy untuk dipersembahkan kepada Raja Habasyah, Amr Bin Ash begitu yakin raja akan mengembalikan kaum muslimin ke Mekah. Di hadapan Raja Najashi yang beragama Nasrani, Amr Bin Ash mulai bersilat lidah. Amar memprofokasi raja bahwa agama Islam yang dianut oleh penduduk Mekah yang hijrah ke Habasyah berbeda dengan Nasrani, bahkan agama yang dibawa Muhammad ini dituduh memandang buruk terhadap agama Nasrani.
Raja Habasyah yang begitu kokoh imannya pada Nasrani sangat marah. Namun Ia tidak langsung mengusir kaum muslimin. Di sinilah kebenaran hadist Nabi tentang keadilan Raja Najashi terbukti. Raja Nasrani yang shaleh ini tidak mau bertindak sebelum mendengar langsung dari kaum Muslimin yang tinggal dinegerinya.
Lalu Ja’far maju menjelaskan tentang Islam mewakili umat Islam dan mengapa Ia datang ke negeri Habasyah. Dengan tutur kata yang amat baik serta jujur apa adanya pernyataan Ja’far justru mengundang simpati raja. Bahkan Ja’far menjelaskan tentang ajaran Islam tentang Maryam dan Al Masih yang dituturkan Al-Qur’an. Mendengar itu Raja Najashi bergetar hatinya tidak kuasa menahan haru. Apa yang disampaikan Ja’fat dan ajaran Nasrani yang Ia yakini berasal dari satu sumber yang sama. Maka saat itu pula, Najashi menjamin keamanan kaum Muslimin di Habasyah.
Menurut beberapa sumber, Raja Najashi memeluk Islam, namun tetap merahasiakannya kepada rakyatnya. Tidak hanya itu, murid-murid Ja’far di Habsyah kemudian menyebarkan ajaran tauhid disana hingga Islam mulai tersebar di negeri Habasyah.
Di negeri hijrah pertamanya itu, Asma, istri Ja’far melahirkan putra pertama mereka dan diberi nama Abdullah. Sebuah nama yang menujukan keislaman seseorang sebagai hamba yang hanya mengabdi kepada Allah. Kelahiran putra Ja’far disambut bahagia oleh Najashi. Sang raja memberinya hadiah, sang raja pun menamainya dengan nama yang serupa dengan putra Ja’far.
Selama tujuh tahun di negeri Habasyah, Ja’far dan kaum muslimin begitu merindukan Rasulullah SAW. Sebuah kabar datang membuat hati Ja’far hancur, Abu Thalib, sang ayah yang amat dicintainya wafat dalam keadaan tidakk beriman.
Di lain pihak, kaum muslimin mendapatkan kemenangan gemilang pada perang Haibar, Jafar Bin Abi Thalib meninggalkan Habasyah menuju Madinah. Kedatangannya begitu membahagiakan Rasulullah SAW, hingga Nabi sendiri tidak menyadari kebahagiaan yang dirasakannya apakah karena kemenangannya dalam perang Haibar, atau karena kedatangan Ja’far.
Belum begitu lama Ja’far tinggal di Madinah pada awal tahun ke delapan hijriyah, Rasulullah SAW menyiapkan pasukan tentara untuk memerangi tentara Romawi di Mut’ah. Beliau mengangkat Zait bin Haritsah menjadi komandan pasukan. Jika Zait bin Haritsah gugur, maka digantikan oleh Ja’far Bin Abi Thalib, jika Ia cidera dan tewas pula, Ia digantikan oleh Abdullah bin Rawaha dan apabila Abdullah Bin Rawaha cidera dan gugur pula, hendaklah kaum muslimin memilih komandan diantara mereka.
Sampai di Mut’ah, sebuah kota dekat Syam daerah Yordania mereka mendapati pasukan Romawi dengan 100 ribu pasukan yang terlatih. Diperkuat dengan 1000 milisi Nasrani dari kabilah-kabilah Arab, sementara tentara kaum muslimin yang dipimpin oleh Zait Bin Haritsah hanya berkekuatan 3000 tentara.
Begitu kedua pasukan yang tidak seimbang ini bertemu dan peperangan dahsyat pun terjadi. Komandan Muslimin, Zait Bin Haritsah gugur sebagai shahid, melihat Zait gugur, Ja’far kemudian melompat dan mengambil alih bendera Rasulullah SAW dari tangan Zaid. Lalu diacungkan dengan tinggi-tinggi dan kini pimpinan beralih kepadanya. Ja’far mengayunkan pedang ditengah musuh yang mengepungnya dia mengamuk menyerang musuh ke kanan dan kekiri dengan hebat.
Hingga suatu ketika sebuah tebasan pedang mengenai tangan kanannya, maka tangan kirinya langsung mengambil bendera dari tangan kanannya yang puntung, tangan kirinya putus pula terkena sabetan pedang musuh. Tapi Ia tidak gentar dan putus asa, dipeluknya bendera Rasulullah dengan kedua lengannya dengan terus menerjang musuh hingga akhirnya tubuh Ja’far ditebas musuh hingga gugur sebagai syahid di medan Mut’ah.
Rasulullah SAW sangat sedih mendengar kabar gugurnya Jafar beliau pergi kerumah Ja’far di dapatinya Asma, istri Ja’far yang sedang bersiap-siap menunggu kedatangan suaminya, memandikan dan memakaikan baju bersih kepada anak-anaknya. Asma sendiri menuturkan kedatangan Rasulullah SAW.
“Ketika Rasulullah SAW mengujungi kami, terlihat wajah Rasulullah diselubungi kabut sedih, hatiku cemas tetapi aku tidak berani menanyakan apa yang terjadi, karena aku takut mendengar berita buruk, beliau memberi salam dan menanyakan anak-anak kami,”
Asma kemudian memanggil mereka semua, dan disuruhnya menemuii Rasulullah. Anak-anak Ja’far kemudian melompat kegirangan mengetahui kedatangan Beliau. Mereka berebutan untuk bersalaman dengan Rasulullah SAW. Rasulullah SAWA langsung memeluk erat anak-anak Ja’far sambil menciumi mereka penuh haru. Air mata Beliau berlinang membasahi pipi mereka.
Di riwayatkan dari Muhammad bin Usamah bin Zaib bahwa Rasulullah SAW pernah berkata kepada Ja’far “Bentuk wajahmu serupa dengan wajahku, dan akhlakmu serupa dengan akhlak ku karena kamu berasal dari ku dan merupakan keturunanku.”
Karena kemiripan akhlak dan karakternya inilah Ja’far bin Abi thalib mudah menerima Islam saat diterangkan dengan sahabat yakni Abu Bakar Ash Shiddiq. Ia tercatat menjadi orang ke-31 yang memeluk Islam. Bagaimanakah perjalanan seorang Ja'far bin Abi Thalib dan apa sajakah pengaruh beliau dalam agama Islam?
Ja’far yang merupakann sepupu Nabi Muhammad SAW ini langsung menyatakan Keislamannya begitu mengetahui bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah SWT. Putra Abu Thalib ini kemudian menyampaikan keislamannya kepada sang Istri, istrinya Asma bin Umais.Ja’far pun lalu mengajak istrinya untuk kemudian masuk Islam. Ia begitu yakin bahwa mengikuti ajaran Islam akan membawanya pada kebaikan dunia dan akhirat.
Kelembutan serta kecerdasan seorang Ja'far bin Abi Thalib berhasil mengantarkan istrinya Asma bin Umais ke jalan yang hidayah, hingga nanti disepanjang jalan hidupnya, keduanya bersama-sama mengarungi pahit manis sebagai seorang muslim yang bertakwa.
Meski kebahagiaan Islam telah menyelimti hatinya, namun kebahagian kakak Ali Bin Abi Thalib ini belum utuh. Sebab sang ayah yang sangat dicintainya, Abu Thalib enggan mengikuti kebenaran yang dibawa keponakannya, Nabi Muhammad SAW. Padahal Ia selalu dibarisan terdepan membela Rasulullah SAW dari kedengkian kaum Quraisy. Hanya doalah yang bisa dipanjatkan Ja’far bin Abi Thalib agar sang ayah mau membuka hatinya menerima hidayah Islam.
Maka ketika Islam semakin menyebar di Kota Mekah kaum Quraisy semakin berang dan tidak terima. Mereka membuat banyak gangguan untuk menjatuhkan Islam serta melemahkan iman kaum Muslimin. Maka ketika Quraisy tidak bisa menghalangi dakwah Rasulullah SAW lantaran sang Nabi mendapatkan pembelaan dari keluarga besarnya, mereka pun mulai melampiaskan amarah dengan menyiksa kaum miskin dan lemah.
Tapi siksaan demi siksaan yang diterima kaum muslimin justru membuat iman mereka semakin kokoh dan kebal. Demikia kejam siksaan kaum Quraisy terhadap kaum Muslimin, hingga keinginan melawan semakin besar, termasuk Ja’far Bin Abi Thalib. Ia begitu kesal dengan perlakuan kaumnya tapi Ia begitu tidak bisa berbuat apa-apa, sebab Rasulullah SAW melarang kaum Muslimin untuk melawan dan hanya meminta agar bersabar.
Disaat kekejaman kaum Quraisy memuncak Rasulullah SAW meminta agar kaum muslimin hijrah ke negeri Habasyah, negeri yang dipimpin Raja Najashi, seorang Raja Nasrani yang adil dan tidak pernah berbuat dzalim.
Rasulullah SAW memilih Ja’far Bin Abi Thalib memimpin kaum muslimin hijrah menyelamatkan akidahnya ke negeri Habasyah. Rasulullah SAW begitu mengenal Ja’far sepertit mengenal dirinya sendiri. Ja’far diplih karena memiliki kecerdasan, keberanian sekaligus ketenangan semuanya itu semakin didukung karena Ia memiliki kemiripan dengan Rasulullah SAW. Sehingga menjadi pelipur lara bagi kaum muslimin bila jauh dari Nabi mereka.
Benar saja, di negeri Habasyah muslimin bisa hidup nyaman tanpa harus terganggu saat beribadah. Namun kabar hijrahnya 100 kaum muslimin ke negeri Habasyah membuat berang kaum musrik Quraisy. Mereka tidak tenang pengikut Nabi Muhammad SAW beribadah dengan nyaman. Mereka kemudian berencana untuk memulangkan kaum muslimin ke Mekah. Mereka mengutus Amar Bin Ash, pemuda Quraisy yang dikenal paling jago berdiplomasi dan dekat dengan Raja Najashi
Sambil membawa hadiah dari kaum Quraisy untuk dipersembahkan kepada Raja Habasyah, Amr Bin Ash begitu yakin raja akan mengembalikan kaum muslimin ke Mekah. Di hadapan Raja Najashi yang beragama Nasrani, Amr Bin Ash mulai bersilat lidah. Amar memprofokasi raja bahwa agama Islam yang dianut oleh penduduk Mekah yang hijrah ke Habasyah berbeda dengan Nasrani, bahkan agama yang dibawa Muhammad ini dituduh memandang buruk terhadap agama Nasrani.
Raja Habasyah yang begitu kokoh imannya pada Nasrani sangat marah. Namun Ia tidak langsung mengusir kaum muslimin. Di sinilah kebenaran hadist Nabi tentang keadilan Raja Najashi terbukti. Raja Nasrani yang shaleh ini tidak mau bertindak sebelum mendengar langsung dari kaum Muslimin yang tinggal dinegerinya.
Lalu Ja’far maju menjelaskan tentang Islam mewakili umat Islam dan mengapa Ia datang ke negeri Habasyah. Dengan tutur kata yang amat baik serta jujur apa adanya pernyataan Ja’far justru mengundang simpati raja. Bahkan Ja’far menjelaskan tentang ajaran Islam tentang Maryam dan Al Masih yang dituturkan Al-Qur’an. Mendengar itu Raja Najashi bergetar hatinya tidak kuasa menahan haru. Apa yang disampaikan Ja’fat dan ajaran Nasrani yang Ia yakini berasal dari satu sumber yang sama. Maka saat itu pula, Najashi menjamin keamanan kaum Muslimin di Habasyah.
Menurut beberapa sumber, Raja Najashi memeluk Islam, namun tetap merahasiakannya kepada rakyatnya. Tidak hanya itu, murid-murid Ja’far di Habsyah kemudian menyebarkan ajaran tauhid disana hingga Islam mulai tersebar di negeri Habasyah.
Di negeri hijrah pertamanya itu, Asma, istri Ja’far melahirkan putra pertama mereka dan diberi nama Abdullah. Sebuah nama yang menujukan keislaman seseorang sebagai hamba yang hanya mengabdi kepada Allah. Kelahiran putra Ja’far disambut bahagia oleh Najashi. Sang raja memberinya hadiah, sang raja pun menamainya dengan nama yang serupa dengan putra Ja’far.
Selama tujuh tahun di negeri Habasyah, Ja’far dan kaum muslimin begitu merindukan Rasulullah SAW. Sebuah kabar datang membuat hati Ja’far hancur, Abu Thalib, sang ayah yang amat dicintainya wafat dalam keadaan tidakk beriman.
Di lain pihak, kaum muslimin mendapatkan kemenangan gemilang pada perang Haibar, Jafar Bin Abi Thalib meninggalkan Habasyah menuju Madinah. Kedatangannya begitu membahagiakan Rasulullah SAW, hingga Nabi sendiri tidak menyadari kebahagiaan yang dirasakannya apakah karena kemenangannya dalam perang Haibar, atau karena kedatangan Ja’far.
Belum begitu lama Ja’far tinggal di Madinah pada awal tahun ke delapan hijriyah, Rasulullah SAW menyiapkan pasukan tentara untuk memerangi tentara Romawi di Mut’ah. Beliau mengangkat Zait bin Haritsah menjadi komandan pasukan. Jika Zait bin Haritsah gugur, maka digantikan oleh Ja’far Bin Abi Thalib, jika Ia cidera dan tewas pula, Ia digantikan oleh Abdullah bin Rawaha dan apabila Abdullah Bin Rawaha cidera dan gugur pula, hendaklah kaum muslimin memilih komandan diantara mereka.
Sampai di Mut’ah, sebuah kota dekat Syam daerah Yordania mereka mendapati pasukan Romawi dengan 100 ribu pasukan yang terlatih. Diperkuat dengan 1000 milisi Nasrani dari kabilah-kabilah Arab, sementara tentara kaum muslimin yang dipimpin oleh Zait Bin Haritsah hanya berkekuatan 3000 tentara.
Begitu kedua pasukan yang tidak seimbang ini bertemu dan peperangan dahsyat pun terjadi. Komandan Muslimin, Zait Bin Haritsah gugur sebagai shahid, melihat Zait gugur, Ja’far kemudian melompat dan mengambil alih bendera Rasulullah SAW dari tangan Zaid. Lalu diacungkan dengan tinggi-tinggi dan kini pimpinan beralih kepadanya. Ja’far mengayunkan pedang ditengah musuh yang mengepungnya dia mengamuk menyerang musuh ke kanan dan kekiri dengan hebat.
Hingga suatu ketika sebuah tebasan pedang mengenai tangan kanannya, maka tangan kirinya langsung mengambil bendera dari tangan kanannya yang puntung, tangan kirinya putus pula terkena sabetan pedang musuh. Tapi Ia tidak gentar dan putus asa, dipeluknya bendera Rasulullah dengan kedua lengannya dengan terus menerjang musuh hingga akhirnya tubuh Ja’far ditebas musuh hingga gugur sebagai syahid di medan Mut’ah.
Rasulullah SAW sangat sedih mendengar kabar gugurnya Jafar beliau pergi kerumah Ja’far di dapatinya Asma, istri Ja’far yang sedang bersiap-siap menunggu kedatangan suaminya, memandikan dan memakaikan baju bersih kepada anak-anaknya. Asma sendiri menuturkan kedatangan Rasulullah SAW.
“Ketika Rasulullah SAW mengujungi kami, terlihat wajah Rasulullah diselubungi kabut sedih, hatiku cemas tetapi aku tidak berani menanyakan apa yang terjadi, karena aku takut mendengar berita buruk, beliau memberi salam dan menanyakan anak-anak kami,”
Asma kemudian memanggil mereka semua, dan disuruhnya menemuii Rasulullah. Anak-anak Ja’far kemudian melompat kegirangan mengetahui kedatangan Beliau. Mereka berebutan untuk bersalaman dengan Rasulullah SAW. Rasulullah SAWA langsung memeluk erat anak-anak Ja’far sambil menciumi mereka penuh haru. Air mata Beliau berlinang membasahi pipi mereka.
HAMZAH BIN ABDUL MUTHALIB (SINGA ALLAH AZZA WA JALLA DAN
RASULNYA SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM)
Salah seorang paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan saudara sesusuan beliau adalah Hamzah bin `Abdul Muththalib bin Hâsyim bin Abdu Manâf al-Qurasyi al-Hâsyimi Abu Ammârah Radhiyallahu anhu . Mereka berdua disusui oleh Tsuwaibah, bekas budak Abu Lahab [1]. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hamzah bin `Abdul Mutthalib Radhiyallahu anhu adalah saudara sepersusuanku [HR. Muslim] [2]
Dari Atha` bin Jâbir Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Penghulu para syuhada` pada hari kiamat adalah Hamzah bin `Abdul Muththalib”. [al-Hâkim dalam Al-Mustadrak 2/130, 3/219] [3]
Sa`d bin Abi Waqqâsh Radhiyallahu anhu mengatakan: “Dahulu Hamzah bin `Abdul Muththalib Radhiyallahu anhu ikut serta dalam perang Uhud; dan di depan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ia mengatakan: “Aku adalah singa Allah Azza wa Jalla ”.[4] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda: “Demi dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, sesungguhnya Hamzah bin `Abdul Muththalib telah ditulis di langit ke tujuh bahwa dia adalah singa Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya”[5]
Kisah-Kisah Keberanian Hamzah Dalam Berperang.
Tatkala Allah Azza wa Jalla mengizinkan Rasul-Nya untuk berperang, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai mengutus para pasukan perang ke berbagai wilayah dengan tujuan tertentu. Ketika itu, panji pertama yang dibuat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah untuk Hamzah bin `Abdul Mutthalib Radhiyallahu anhu . Beliau mengutusnya bersama 30 Muhâjirin, untuk menghadang kafilah dagang Quraisy. Rombongan dagang itu datang dari Syam, dipimpin oleh Abu Jahal bin Hisyâm dengan 300 orang Quraisy. Sampailah Hamzah dan orang-orang yang bersamanya di Saiful Bahr dari arah al-Ish. Dia bertemu dengan Abu Jahal dan para pengikutnya, dan kemudian kedua kelompok itu memilih berperang dan menghunus pedang-pedang mereka, kecuali Majdi bin Umar al-Juhani yang mempunyai hubungan erat dengan 2 kelompok itu. Ia berjalan di antara dua kelompok itu dan memisahkan mereka, sehingga perang pun tidak terjadi.[6]
Dalam perang Badar al-Kubra, Hamzah adalah pejuang terdepan dalam mubârazah (perang tanding atau duel). Ali Radhiyallahu anhu berkata : “ Utbah bin rabî`ah maju, kemudian diikuti oleh anak laki-laki dan saudaranya. Ia berseru : “Siapa yang akan maju tanding?” kemudian beberapa pemuda Anshâr pun meladeninya. Utbah bertanya : “Siapa kalian?” Mereka pun memberitahukan diri mereka. Lalu Utbah berkata : “Kami tidak ada urusan dengan kalian, yang kami butuhkan hanyalah kaum kami.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “ Berdirilah wahai Hamzah, berdirilah wahai Ali, berdirilah wahai Ubadah bin al-Harits.” Kemudian Hamzah mendatangi Utbah, aku (Ali) mendatangi Syaibah, sedangkan Ubadah dan al-Walîd saling memukul 2 pukulan. Setelah kami (Ali dan Hamzah) mengalahkan musuh, lalu kami menuju al-Walîd dan membunuhnya. Kami membawa Ubâdah kembali ke pasukan kaum Muslimin.” Kisah ini menjelaskan bahwa Hamzah bin `Abdul Mutthalib ikut berduel dalam perang Badar.[7]
Kedua kelompok yang berduel itu adalah pasukan Allah Azza wa Jalla dan pasukan setan. Allah Azza wa Jalla berfirman:
هَٰذَانِ خَصْمَانِ اخْتَصَمُوا فِي رَبِّهِمْ
Inilah dua golongan (golongan Mukmin dan golongan kafir) yang bertengkar, mereka saling bertengkar mengenai rabb mereka. [al-Hajj/22:19]
Abu Dzar Radhiyallahu anhu bersumpah bahwa ayat di atas turun berkenaan dengan orang-orang yang berduel dalam perang Badar, yaitu Hamzah, Ali, Ubaidah bin al-Harits, Utbah bin rabî`ah, Syaibah bin rabî`ah dan al-Wâlid bin Utbah.
Ali Radhiyallahu anhu berkata bahwa ayat di atas turun tentang orang-orang yang berduel pada saat perang Badar.[8]
Kesaksian Sahabat
Abdurrahmân bin `Auf (salah seorang Sahabat yang dijamin masuk surga) memberikan syahâdah (persaksian) bahwa Hamzah lebih baik daripada dirinya. `Abdurrahmân bin Auf juga mengatakan: “Hamzah telah terbunuh, padahal dia adalah orang yang lebih baik dariku, kemudian dunia dilapangkan bagi kami, atau mengatakan kami mendapatkan kesenangan dunia. Sungguh, kami takut kebaikan-kebaikan kami diberikan (di dunia-pent).” Kemudian dia menangis dan meninggalkan makanan itu.” [hlm 186, nukilan dari al-Bukhâri no. 1275] [9]
Kisah Pembunuhan Hamzah Radhiyallahu Anhu
Wahsyi (orang yang telah membunuh Hamzah Radhiyallahu anhu ) menceritakan, “Dahulu aku adalah budak Jubair bin Muth`im. Pamannya yang bernama Thuaimah bin Adi terbunuh di perang Badar (dibunuh oleh Hamzah Radhiyallahu anhu). Majikanku (Jubair) berkata kepadaku : “Jika engkau berhasil membunuh Hamzah Radhiyallahu anhu , maka engkau akan bebas.” Wahsyi berkata : “Aku dahulu adalah ahli tombak, sedikit sekali lemparan tombakku yang tidak mengenai sasaran. Aku keluar bersama beberapa orang. Ketika mereka telah bertemu, akupun mengambil tombakku dan keluar hingga melihat Hamzah Radhiyallahu anhu ada di antara orang banyak. Ia seperti unta yang berwarna keabu-abuan. Ia mengancam orang-orang dengan pedangnya dan tidak pernah melepaskan pedangnya. Demi Allah Azza wa Jalla , sesungguhnya aku telah bersiap-siap (bertarung) dengannya, dan tiba-tiba aku didahului as-Siba` bin `Abdul Uzza al-Khuzai. Tatkala Hamzah Radhiyallahu anhu melihatnya, Hamzah berkata : “Kemarilah wahai anak wanita tukang khitan.” Kemudian dia dipenggal oleh Hamzah Radhiyallahu anhu . Demi Allah Azza wa Jalla, tidak luput sabetan pada kepalanya. Aku tidak melihat sesuatu yang lebih cepat dari jatuhnya kepalanya. Kemudian akupun menggerakkan tombakku, dan ketika telah benar-benar yakin, akupun melemparkannya. Lemparanku tepat mengenai perut bagian bawahnya, hingga tembus ke antara kedua kakinya. Ia pun pergi untuk bangkit, akan tetapi tidak kuat. Kemudian aku menunggunya hingga mati, setelah itu aku berdiri di hadapannya. Aku ambil tombakku dan kemudian kembali ke pasukan dan duduk.
Ketika Rasulullah menakhlukkan Mekah, aku kabur ke Thaif. Ketika utusan Thaif keluar untuk masuk Islam, aku merasa sangat berat. Aku (Wahsyi) berkata : “Aku pergi ke Syam, Yaman, dan negara-negara yang lain. Demi Allah Azza wa Jalla , sesungguhnya ketika itu aku sangat takut. Tiba-tiba ada seseorang berkata : “Demi Allah Azza wa Jalla , jika Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak membunuh seseorang, orang itu segera masuk ke dalam agamanya (agar selamat).”
Sehingga aku pun keluar menuju Madinah menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau bertanya, “Apakah engkau Wahsyi” Aku menjawab, “ Ya” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “ Duduklah dan ceritakan bagaimana engkau membunuh Hamzah.” Lalu aku pun menceritakannya. Setelah itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Celaka engkau, menyingkirlah dariku. Janganlah engkau muncul di hadapan kami.” Ini menunjukkan kecintaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada pamannya, Hamzah Radhiyallahu anhu . Aku pun menjauh dari beliau hingga beliau meninggal dunia.”
Wahsyi mengatakan, “Tatkala kaum Muslimin keluar menuju Musailamah, aku ikut keluar dengan mereka dengan membawa tombakku yang dahulu aku gunakan untuk membunuh Hamzah Radhiyallahu anhu . Ketika kedua pasukan bertemu, aku melihat Musailamah yang membawa pedang. Demi Allah Azza wa Jalla , aku tidak tahu, tiba-tiba ada seorang Anshâr yang hendak menuju kepadanya dari arah lain. Maka kami siap menuju kepadanya, hingga ketika sudah dekat aku melemparkan tombakku dan tepat mengenainya; sedangkan orang Anshâr itu menyerang dengan pedangnya. Allah Azza wa Jalla lebih mengetahui siapa yang telah membunuhnya. Jika aku telah membunuhnya, sesungguhnya aku telah membunuh orang yang terbaik setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku pun juga telah membunuh orang yang paling jahat.”[10]
Ayat Yang Turun Tentang Hamzah Radhiyallahu Anhu
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah Azza wa Jalla mati, bahkan mereka hidup, di sisi Allah Azza wa Jalla mereka diberi rezeki [Ali Imrân/3:169]
Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu berkata : “Ayat ini turun berkenaan dengan Hamzah Radhiyallahu anhu dan para Sahabatnya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tatkala teman-teman kalian dalam perang Uhud meninggal dunia, Allah Azza wa Jalla menjadikan ruh-ruh mereka di tenggorokan burung hijau yang ada di sungai-sungai surga, mereka makan biji-bijinya dan kembali ke pelita-pelita dari emas yang tergantung di Arsy. Ketika mereka memperoleh kesenangan dalam makan, minum dan tidur, mereka berkata : “ Siapa yang hendak menyusul kami. Kami hidup di surga dengan kenikmatan. Hendaknya mereka jangan meninggalkan jihad dan tidak mundur dalam perang.” Allah Azza wa Jalla berfirman : “Aku lebih tahu tentang mereka daripada kalian”, kemudian berfirman : “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah Azza wa Jalla mati, bahkan mereka hidup, di sisi Allah Azza wa Jalla mereka diberi rezeki””[11]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyayangi dan merasa iba kepada Hamzah Radhiyallahu anhu tatkala melihat perbuatan orang-orang kafir kepadanya. Anas Radhiyallahu anhu mengatakan, “Pada saat Uhud, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di hadapan jasad Hamzah Radhiyallahu anhu yang luka parah. Beliau bersabda : “Seandainya saja Shafiyah tidak menemukan jasadnya, pasti dia akan meninggalkannya hingga Allah Azza wa Jalla mengumpulkannya di perut binatang buas atau burung”[12]
Marâji`
1. Ash-Shahâbah, Syaikh Shâlih bin Thaha `Abdul Wâhid, Maktabah al-Ghurabâ`, Dâr al-Atsariyah, cet. Ke-1 tahun 1427H
2. Disadur dari kitab Ash-Shahîhul Musnad Min Fadhâilish Shahâbah, Dâr Ibnu Affân, karya Abu `Abdillâh Musthafa bin al-Adawi.
Kisah Sahabat Nabi: Abbas bin Abdul Muthalib, Paman
Terkasih Rasulullah
Ia adalah paman Rasulullah SAW dan salah
seorang yang paling akrab di hatinya dan yang paling dicintainya. Oleh sebab
itu, beliau senantiasa berkata, "Abbas adalah saudara kandung ayahku.
Barangsiapa yang menyakiti Abbas sama dengan menyakitiku."
Pada zaman Jahiliyah, ia mengurus kemakmuran Masjidil Haram dan melayani minuman para jamaah haji. Seperti halnya ia akrab di hati Rasulullah, Rasulullah pun dekat sekali di hatinya. Ia pernah menjadi pembantu dan penasihat utamanya dalam Baiat Aqabah menghadapi kaum Anshar dari Madinah.
Abbas adalah saudara bungsu ayah Nabi SAW, Abdullah bin Abdul Muthalib. Menurut sejarah, ia dilahirkan tiga tahun sebelum kedatangan Pasukan Gajah yang hendak menghancurkan Baitullah di Makkah. Ibunya, Natilah binti Khabbab bin Kulaib, adalah seorang wanita Arab pertama yang mengenakan kelambu sutra pada Baitullah.
Pada waktu Abbas masih anak-anak, ia pernah hilang. Sang ibu lalu bernazar, kalau putranya itu ditemukan, ia akan mengenakan kelambu sutra pada Baitullah. Tak lama kemudian, Abbas ditemukan, maka ia pun menepati nazarnya itu.
Abbas kemudian menikah dengan Lubabah binti Harits, juga dikenal dengan sebutan Ummu Fadhl, yang dalam sejarah Islam menjadi wanita kedua yang masuk Islam. Lubabah masuk Islam pada hari yang sama dengan sahabatnya, Khadijah binti Khuwailid, yang tidak lain adalah istri Muhammad SAW. Abbas dan Lubabah adalah orang tua dari Al-Fadhl, Abdullah, Ubaidillah dan Qasim bin Abbas.
Pada tahun-tahun awal perjuangan Nabi SAW menyampaikan dakwah Islam, Abbas selalu melindungi Rasulullah dari orang-orang Quraisy yang hendak mencelakakan beliau. Walaupun pada saat itu, ia sendiri belum masuk Islam.
Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang Islamnya Abbas. Ada yang mengatakan, sesudah penaklukkan Khaibar. Ada yang mengatakan, lama sebelum Perang Badar.
Ketika Rasulullah SAW berhijrah ke Yatsrib, Abbas tetap tinggal di Makkah, mendengarkan berita Rasulullah dan kaum Muhajirin, dan mengirimkan berita-berita kaum Quraisy, hingga berkecamuknya Perang Badar.
Abbas, biasa juga dipanggil Abu Fadhl, pergi berhijrah ke Madinah bersama Naufal ibnul Harits. Ahli sejarah berbeda pendapat tentang tanggal hijrahnya, namun mereka sependapat bahwa Rasulullah telah memberikan sebidang tanah kepadanya, berdekatan dengan tempat kediamannya.
Suatu hari, Abbas datang menghadap Rasulullah dan memohon dengan penuh harap, "Ya Rasulullah, apakah engkau tidak suka mengangkat aku menjadi pejabat pemerintahan?"
Berdasarkan pengalaman, ia seorang yang berpikiran cerdik, berpengetahuan luas, dan mengetahui liku-liku jiwa orang. Namun Nabi SAW tidak ingin mengangkat pamannya menjadi kepala pemerintahan. Beliau tidak ingin pamannya dibebani tugas-tugas pemerintahan. "Wahai paman Nabi, menyelamatkan sebuah jiwa lebih baik daripada menghitung-hitung jabatan pemerintahan," kata Rasulullah.
Ternyata Abbas menerima dengan senang hati pendapat Rasulullah, tetapi malah Ali bin Abi Thalib yang kurang puas. Ia lalu berkata kepada Abbas, "Kalau kau ditolak menjadi pejabat pemerintahan, mintalah diangkat menjadi pejabat pemungut sedekah!"
Sekali lagi Abbas menghadap Rasulullah untuk meminta seperti yang dianjurkan Ali itu. Rasulullah kemudian bersabda kepadanya, "Wahai pamanku, tak mungkin aku mengangkatmu mengurusi cucian (kotoran) dosa orang."
Rasulullah adalah orang yang paling akrab dan paling kasih kepadanya, tidak mau mengangkatnya menjadi pejabat pemerintahan atau pengurus sedekah. Bahkan ia tidak diberi kesempatan dan harapan untuk mengurusi soal-soal yang bersifat duniawi, tetapi menekannya supaya lebih menekuni soal-soal ukhrawi.
Ketika Rasulullah SAW wafat, Abbas adalah orang yang paling merasa kesepian atas kepergiannya itu. Abbas hidup terhormat di bawah pemerintahan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq maupun pada masa kepemimpinan Umar bin Khathab.
Pada suatu hari dalam pemerintahan Khalifah Umar, terjadi paceklik hebat dan kemarau ganas. Orang-orang berdatangan kepada Khalifah untuk mengadukan kesulitan dan kelaparan yang melanda daerahnya masing-masing.
Umar menganjurkan kepada Muslimin yang berkemampuan supaya mengulurkan tangan membantu saudara-saudaranya yang ditimpa kekurangan dan kelaparan. Kepada para penguasa di daerah diperintahkan supaya mengirimkan kelebihan daerahnya ke pusat.
Ka'ab menemui Khalifah Umar seraya berkata, "Wahai Amirul Mukminin, biasanya Bani Israel kalau menghadapi bencana semacam ini, mereka meminta hujan dengan kelompok para nabi mereka."
Umar berkata, "Ini dia paman Rasulullah dan saudara kandung ayahnya. Lagi pula, ia pimpinan Bani Hasyim."
Khalifah Umar pergi kepada Abbas dan menceritakan kesulitan besar yang dialami umat akibat kemarau panjang dan paceklik itu. Kemudian ia naik mimbar bersama Abbas seraya berdoa, "Ya Allah, kami menghadapkan diri kepada-Mu bersama dengan paman Nabi kami dan saudara kandung ayahnya, maka turunkanlah hujan-Mu dan janganlah kami sampai putus asa!"
Abbas lalu meneruskan, memulai doanya dengan puja dan puji kepada Allah SWT, "Ya Allah, Engkau yang mempunyai awan dan Engkau pula yang mempunyai air. Sebarkanlah awan-Mu dan turunkanlah air-Mu kepada kami. Hidupkanlah semua tumbuh-tumbuhan dan suburkanlah semua air susu. Ya Allah, Engkau tidak mungkin menurunkan bencana kecuali karena dosa dan Engkau tidak akan mengangkat bencana kecuali karena tobat. Kini umat ini sudah menghadapkan dirinya kepada-Mu maka turunkanlah hujan kepada kami..."
Ternyata doanya itu langsung diterima dan diijabah Allah SWT. Hujan lebat turun dan tumbuh-tumbuhan tumbuh dengan suburnya. Orang-orang bersyukur kepada Allah dan mengucapkan selamat kepada Abbas, "Selamat kepadamu, wahai Saqil Haramain, yang mengurusi minuman orang di Makkah dan Madinah."
Abbas bin Abdul Muththalib, paman Rasululah SAW dan saudara kandung ayahnya, termasuk salah seorang tokoh sahabat yang ikut mengibarkan panji Islam. Sepak terjangnya dicatat sejarah dengan tinta emas dalam Baiat Aqabah Kubra. Ia bertindak sebagai seorang penasihat dan juru runding, menyertai keponakannya dalam majelis itu.
Abbas ra wafat pada hari Jumat, 12 Rajab 32 H, dalam usia 82 tahun. Ia dikebumikan di Baqi', Madinah.
Pada zaman Jahiliyah, ia mengurus kemakmuran Masjidil Haram dan melayani minuman para jamaah haji. Seperti halnya ia akrab di hati Rasulullah, Rasulullah pun dekat sekali di hatinya. Ia pernah menjadi pembantu dan penasihat utamanya dalam Baiat Aqabah menghadapi kaum Anshar dari Madinah.
Abbas adalah saudara bungsu ayah Nabi SAW, Abdullah bin Abdul Muthalib. Menurut sejarah, ia dilahirkan tiga tahun sebelum kedatangan Pasukan Gajah yang hendak menghancurkan Baitullah di Makkah. Ibunya, Natilah binti Khabbab bin Kulaib, adalah seorang wanita Arab pertama yang mengenakan kelambu sutra pada Baitullah.
Pada waktu Abbas masih anak-anak, ia pernah hilang. Sang ibu lalu bernazar, kalau putranya itu ditemukan, ia akan mengenakan kelambu sutra pada Baitullah. Tak lama kemudian, Abbas ditemukan, maka ia pun menepati nazarnya itu.
Abbas kemudian menikah dengan Lubabah binti Harits, juga dikenal dengan sebutan Ummu Fadhl, yang dalam sejarah Islam menjadi wanita kedua yang masuk Islam. Lubabah masuk Islam pada hari yang sama dengan sahabatnya, Khadijah binti Khuwailid, yang tidak lain adalah istri Muhammad SAW. Abbas dan Lubabah adalah orang tua dari Al-Fadhl, Abdullah, Ubaidillah dan Qasim bin Abbas.
Pada tahun-tahun awal perjuangan Nabi SAW menyampaikan dakwah Islam, Abbas selalu melindungi Rasulullah dari orang-orang Quraisy yang hendak mencelakakan beliau. Walaupun pada saat itu, ia sendiri belum masuk Islam.
Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang Islamnya Abbas. Ada yang mengatakan, sesudah penaklukkan Khaibar. Ada yang mengatakan, lama sebelum Perang Badar.
Ketika Rasulullah SAW berhijrah ke Yatsrib, Abbas tetap tinggal di Makkah, mendengarkan berita Rasulullah dan kaum Muhajirin, dan mengirimkan berita-berita kaum Quraisy, hingga berkecamuknya Perang Badar.
Abbas, biasa juga dipanggil Abu Fadhl, pergi berhijrah ke Madinah bersama Naufal ibnul Harits. Ahli sejarah berbeda pendapat tentang tanggal hijrahnya, namun mereka sependapat bahwa Rasulullah telah memberikan sebidang tanah kepadanya, berdekatan dengan tempat kediamannya.
Suatu hari, Abbas datang menghadap Rasulullah dan memohon dengan penuh harap, "Ya Rasulullah, apakah engkau tidak suka mengangkat aku menjadi pejabat pemerintahan?"
Berdasarkan pengalaman, ia seorang yang berpikiran cerdik, berpengetahuan luas, dan mengetahui liku-liku jiwa orang. Namun Nabi SAW tidak ingin mengangkat pamannya menjadi kepala pemerintahan. Beliau tidak ingin pamannya dibebani tugas-tugas pemerintahan. "Wahai paman Nabi, menyelamatkan sebuah jiwa lebih baik daripada menghitung-hitung jabatan pemerintahan," kata Rasulullah.
Ternyata Abbas menerima dengan senang hati pendapat Rasulullah, tetapi malah Ali bin Abi Thalib yang kurang puas. Ia lalu berkata kepada Abbas, "Kalau kau ditolak menjadi pejabat pemerintahan, mintalah diangkat menjadi pejabat pemungut sedekah!"
Sekali lagi Abbas menghadap Rasulullah untuk meminta seperti yang dianjurkan Ali itu. Rasulullah kemudian bersabda kepadanya, "Wahai pamanku, tak mungkin aku mengangkatmu mengurusi cucian (kotoran) dosa orang."
Rasulullah adalah orang yang paling akrab dan paling kasih kepadanya, tidak mau mengangkatnya menjadi pejabat pemerintahan atau pengurus sedekah. Bahkan ia tidak diberi kesempatan dan harapan untuk mengurusi soal-soal yang bersifat duniawi, tetapi menekannya supaya lebih menekuni soal-soal ukhrawi.
Ketika Rasulullah SAW wafat, Abbas adalah orang yang paling merasa kesepian atas kepergiannya itu. Abbas hidup terhormat di bawah pemerintahan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq maupun pada masa kepemimpinan Umar bin Khathab.
Pada suatu hari dalam pemerintahan Khalifah Umar, terjadi paceklik hebat dan kemarau ganas. Orang-orang berdatangan kepada Khalifah untuk mengadukan kesulitan dan kelaparan yang melanda daerahnya masing-masing.
Umar menganjurkan kepada Muslimin yang berkemampuan supaya mengulurkan tangan membantu saudara-saudaranya yang ditimpa kekurangan dan kelaparan. Kepada para penguasa di daerah diperintahkan supaya mengirimkan kelebihan daerahnya ke pusat.
Ka'ab menemui Khalifah Umar seraya berkata, "Wahai Amirul Mukminin, biasanya Bani Israel kalau menghadapi bencana semacam ini, mereka meminta hujan dengan kelompok para nabi mereka."
Umar berkata, "Ini dia paman Rasulullah dan saudara kandung ayahnya. Lagi pula, ia pimpinan Bani Hasyim."
Khalifah Umar pergi kepada Abbas dan menceritakan kesulitan besar yang dialami umat akibat kemarau panjang dan paceklik itu. Kemudian ia naik mimbar bersama Abbas seraya berdoa, "Ya Allah, kami menghadapkan diri kepada-Mu bersama dengan paman Nabi kami dan saudara kandung ayahnya, maka turunkanlah hujan-Mu dan janganlah kami sampai putus asa!"
Abbas lalu meneruskan, memulai doanya dengan puja dan puji kepada Allah SWT, "Ya Allah, Engkau yang mempunyai awan dan Engkau pula yang mempunyai air. Sebarkanlah awan-Mu dan turunkanlah air-Mu kepada kami. Hidupkanlah semua tumbuh-tumbuhan dan suburkanlah semua air susu. Ya Allah, Engkau tidak mungkin menurunkan bencana kecuali karena dosa dan Engkau tidak akan mengangkat bencana kecuali karena tobat. Kini umat ini sudah menghadapkan dirinya kepada-Mu maka turunkanlah hujan kepada kami..."
Ternyata doanya itu langsung diterima dan diijabah Allah SWT. Hujan lebat turun dan tumbuh-tumbuhan tumbuh dengan suburnya. Orang-orang bersyukur kepada Allah dan mengucapkan selamat kepada Abbas, "Selamat kepadamu, wahai Saqil Haramain, yang mengurusi minuman orang di Makkah dan Madinah."
Abbas bin Abdul Muththalib, paman Rasululah SAW dan saudara kandung ayahnya, termasuk salah seorang tokoh sahabat yang ikut mengibarkan panji Islam. Sepak terjangnya dicatat sejarah dengan tinta emas dalam Baiat Aqabah Kubra. Ia bertindak sebagai seorang penasihat dan juru runding, menyertai keponakannya dalam majelis itu.
Abbas ra wafat pada hari Jumat, 12 Rajab 32 H, dalam usia 82 tahun. Ia dikebumikan di Baqi', Madinah.
0 komentar:
Post a Comment
Gunakanlah tata bahasa yang baik